Senin, 31 Agustus 2015

(Ke)kerasan


Ada saat anak-anak tidak betah dirumah. Tidak betah = tidak kerasan.
Bisa jadi mereka memperoleh kekerasan.

Ada saat pasutri sedang tidak harmonis. Tidak harmonis = tidak kerasan.
Awas, kekerasan sedang membersamai mereka. Mungkin.

Ada saat para siswa tidak serius mengikuti proses belajar dikelas. Tidak serius = tidak kerasan.
Perlu dicek, adakah kekerasan disana.

Ada saat pegawai tidak bersemangat untuk produktif. Tidak bersemangat = tidak kerasan.
Mungkin, kekerasan mereka terima.

Kekerasan telah mewujudkan ketidakbetahan
Kekerasan telah menghadirkan ketidakharmonisan.
Kekerasan melahirkan ketidakseriusan.
Kekerasan mencipta ketidakproduktifan.

Kekerasan bukan saja perlakuan fisik. Kekerasan psikis lebih berbahaya. Bahaya, karena tidak disadari pelaku namun sangat mempengaruhi kejiwaan korban.

Keegosian, kesombongan, keserakahan adalah cikal bakal kekerasan psikis.
Wujudkan suasana kerasan dengan mengurung dua huruf "ke" pada kekerasan. (ke)KERASAN.

Dengan mengurung ke-egoisan, ke-sombongan, ke-serakahan, maka "kerasan" bisa tercipta.
Kerasan = betah, harmonis, serius, semangat, produktif.

Saya sedang berproses, belajar dan berlatih untuk mengurungnya.

Bantul, 22 Agustus 2015.

Akal,Hati-Hati


Ketika buah hati akan pergi, entah mau main atau sekolah, maka pesan orang tua menggunakan pilihan kata hati-hati, bukan akal-akal. Ketika saudara dan handai taulan berpamitan pulang selepas melepas rindu, maka tuan rumah yang baik akan berpesan hati-hati bukan otak-otak.

Hati-hati adalah sebuah pesan keselamatan. Ya, jika mau selamat nobatkan hati sebagai panglima pengambil keputusan. Bukan akal! Akal tetap digunakan dalam pengambilan keputusan, akal dipersilahkan turut menyumbangkan usulan. Namun, keputusan tetap ada di hati.

Tidak baik mengambil keputusan tanpa hati. Saya, anda, dan mereka bisa tidak selamat. Hati-hati adalah pesan agar saya, anda, dan mereka memperoleh keselamatan.

Akalku, akalmu, hati-hati.
Pikiranku, pikiranmu, hati-hati
Kebijakanku, kebijakanmu, hati-hati
Hatiku, hatimu, hati-hati.

Cengkiran, jumat dini hari 21-8-2015.

Semumpel


"Ngampet nesu nganggo senyum palingo. Dadi malah semumpel". Demikianlah barisan huruf yang tertata dari seorang sahabat di group WA tatkala mengomentari kabar bahwa salah satu teman kami yang terlihat murah senyum, nyaman dipandang, enak untuk diajak berdiskusi, namun beliau terkena gejala stroke ringan. Ya, biasanya stroke dimitoskan dengan tensi darah yang tinggi, dan darah tinggi terkesan bersama pribadi yang kurang 'murah senyum'. <<kalo gak mau tensi darah memuncak, mari biasakan murah senyum. Senyum itu shodaqah yang menyehatkan smile emotikon >> Semoga lekas sembuh pak, segera kita lanjutkan kebersamaan dalam forum yang biasa kita jadikan wadah untuk meningkatkam kompetensi mengajar saya, anda, dan teman-teman kita.

Kembali ke kalimat pertama tulisan ini. Terdapat satu kata yang menarik. Semumpel. Saya sendiri tidak begitu paham arti kata yang diambil dari bahasa jawa tersebut. Menurut saya, semumpel semakna dengan tersumbat, tidak bisa keluar. Mungkin. Apakah salah tatkala emosi saya, perasaan anda, pemikiran kita, ataupun informasi mereka tidak bisa lepas bebas mengalir keluar karena semumpel? Bisa salah, namun juga bisa tidak. Lihat situasi dan kondisi.

Manajemen kesemumpelan itu bukan sulap, tidak bisa bim salabim langsung bijak 100%. Perlu proses dan latihan yang panjang berliku; Bertahap.

Tidak semua yang kita miliki (emosi, perasaan, pemikiran, informasi, atau apapun) perlu disampaikan. Ada saatnya perlu disumpeli namun ada kalanya dibiarkan keluar mengalir supaya sampai kepada orang lain.
Hilangkan kesemumpelan manakala dengan kesemumpelan tersebut berpontensi kurang baik atau malah tidak baik. Keluarkan!; bebaskan!: emosi, perasaan, pemikiran, informasi ketika itu semua tidak membahayakan atau malah justru menyehatkan jasmani dan jiwa kita dan mereka.

Biarkan kesemumpelan berlanjut tatkala tidak berdampak negatif apalagi memberikan kemanfaatan, baik untuk diri sendiri terlebih untuk orang lain. Tahan!; simpan!: emosi, perasaan, pemikiran, informasi ketika itu semua dapat membahayakan atau malah justru menyakitkan jasmani dan jiwa kita dan mereka manakala sampai keluar mengalir.

Perlakukan kesumempelan dengan bijak. Saya masih perlu belajar dan berlatih mengatur keran semumpel yang saya miliki. Bagaimana dengan Anda? Mari saling mendoakan.

Cengkiran, 17 menit menuju pukul 17. // 20 Agustus 2015

Kemerdekaan (Jumlah) Anak


Sabtu, dua hari menuju 70 tahun Indonesia Merdeka, bersama teman-teman kantor berkesempatan bersilaturahmi kepada salah satu teman yang baru saja memperoleh nikmat titipan dari Ilahi dengan hadirnya sosok seorang putri dalam keluarga beliau. "Selamat, barakallahu, semoga kelak menjadi sosok muslimah sejati"

Biasa, ketika orang-orang berkumpul dalam jalinan silaturahmi maka tawa canda dan obrolan ringan mampu menghidupkan suasana. Termasuk waktu itu, ketika seorang teman mengutarakan keinginan untuk tidak menambah jumlah anak, "dua anak cukup, laki semua nggak masalah", maka riuh tanggapanpun mengemuka. Tanggapan ringan, agak berat, sampai yang (lumayan) berat. (Lumayan) berat berarti tanggapan sudah memasuki wilayah keyakinan, akidah.

Tidak salah dengan gerakan "Dua anak lebih baik". Penempatan tanda baca bisa memengaruhi makna. "Dua anak, lebih baik". Berarti ketika bisa memiliki dua anak, itu lebih baik. Penempatan koma yang lain: "dua anak lebih, baik". Berarti ketika memiliki anak lebih dari dua, maka baik. Saya, mempunyai kemerdekaan merencanakan dalam penentuan jumlah anak. Berapa nyatanya?, sudah menjadi ketentuanNya.

Baik dan tidaknya bukan terletak pada jumlah, namun lebih kepada seberapa kuat kita memakna anak sebagai titipan. Ketika kita menerima barang titipan, itu berarti pihak yang menitipkan mempunyai kepercayaan bahwa kita mampu menjaga dan menyelamatkan barang titipan tersebut. Seberapa banyak barang yang akan dititipkan, tergantung pada kepercayaan pemberi titipan.

Anak adalah titipan. Mereka bukan milik kita, namun kita tetap punya tanggungjawab: menjaga dan menyelematkan. Menjaga supaya tetap sesuai dengan yang dikehendaki Sang Pemberi Titipan. Menyelamatkan, karena ancaman senantiasa mengancam.

Menjaga dan menyelamatkan bukan berarti membatasi dan mengekang. Memberikan kemerdekaan juga bagian dari menjaga dan menyelamatkan. Kemerdekan berbatas, bukan tanpa batas.
Perlu terus belajar memakna dan merealisasi kemerdekan berbatas untuk anak-anak saya.

Bantul, selepas upacara 70 tahun Indonesia Merdeka.

Maaf, Cinta Terpaksa Berpaling


Suatu waktu menyaksikan si bungsu bersikukuh memegang mainan kesenangan. Tak rela ketika akan dipinjam kakak, apalagi diminta ataupun diambil paksa.
Keadaan berubah, tatkala disodori mainan lain yang lebih dicintai oleh si bungsu, meskipun secara umum nilainya lebih kecil. Ya, rasa cinta yang lebih terhadap mainan lain telah meluluhkan hati si bungsu untuk melepas mainan yang sebelumnya tidak boleh dipinjam, apalagi diminta ataupun diambil paksa.
***
Harta yang kita cintai, secara rela akan kita lepas karena kita akan menuju kepada yang lebih kita cintai. ‪#‎biasakan‬ ‪#‎sedekah‬
Waktu (santai) yang kita cintai, secara ringan akan kita tinggal karena akan terganti dengan aktifitas dalam bingkai cinta Nya. ‪#‎mencoba‬: ‪#‎sholat_ontime‬ ‪#‎baca_quran‬ ‪#‎sholat_dhuha_dan_lail‬ ‪#‎berkarya_produktif‬ ‪#‎baca_dan_nulis‬
Merelakan sesuatu yang kita cintai lenyap, itu baik. Karena, akan tergantikan dengan yang lebih pantas kita cintai. ‪#‎ikhlas‬ ‪#‎musibah‬ ‪#‎nikmat‬
***
Terasa ringan melepas sesuatu yang dicintai karena akan berpaling kepada yang lebih dicintai.
Merdekakan diri dari belenggu cinta menengah apalagi rendah. Mari ajak cinta kita berpaling menuju cinta tertinggi.

Cengkiran, detik-detik menuju 70 tahun Indonesia Merdeka.