Rabu, 06 Mei 2015

Memakna Taqwa Dalam Busana Kasultanan Yogyakarta

Pada kesempatan ini, admin titianistimewa akan membagikan sebuah tulisan yang penuh makna yang dikirim sahabat melalui media sosial WhatsApp (WA). Kebudayaan yang tercipta seyogiyanya mengarahkan penikmat kebudayaan tersebut kearah kebaikan bukan sebaliknya menggiring kepada keburukan. Ust. Salim A. Fillah mengurai makna busana kasultanan Yogyakarta dalam bingkai takwa. Berikut tulisan Ust. Salim A. Fillah yang telah admin terima.

Agama Ageming Aji
  
"..Dan pakaian taqwa, itulah yang terbaik.." (QS Al A'raaf: 26)
Alkisah Sayyid Ja'far Ash Shadiq, sang Sunan Kudus menegur Sunan Kalijaga atas pakaiannya yang wulung, maka sang wali Kadilangu menjawab, "Jika dengan ini saya merasa dekat dengan yang saya dakwahi & mereka merasa dekat dengan saya; bukankah pakaian terbaik adalah pakaian taqwa; sedang taqwa tersembunyi dalam dada?"
Sejak itu, pakaian beliau disebut baju taqwa.
Ketika bertakhta di Mataram 1613-1645, Sultan Agung menjadikannya pakaian Kerajaan. Lalu pada palihan nagari 1755, Sultan Hamengkubuwana I menjadikannya sebagai busana resmi Keraton Yogyakarta.
Unsur dalam baju taqwa itu antara lain:
  1. Keris yang dikenakan di belakang. Dalam bahasa Jawa disebut Curiga (waspada) atau Dhuwung (sadar & hati-hati). Inilah makna taqwa seperti dalam bincang antara 'Umar & Ubay ibn Ka'b.
  2. Kain bawahan dikenakan sebagai bebet. Maknanya, perut & bawah perut adalah markas syahwat yang harus dibebeti, dibebat, dikendalikan agar tak liar. Kain ini di-wiru bagian ujungnya, yakni agar terjaga sifat wara'/wira'i. "Adapun orang yang takut pada keagungan Rabbnya & mencegah diri dari hawa nafsu, surgalah tempat tinggalnya." (QS An Naazi'aat 40-41). Motif kainnya sesuai kesempatan; yang kami pakai ini Wahyu Tumurun, artinya Nuzulul Quran.
  3. Pasangan ikat pinggangnya disebut kamus & timang. Taqwa harus diikat dengan ilmu yang wajib dituntut dari timangan, buaian hingga liang lahat.
  4. Pakaian atasan disebut surjan. Ketaqwaannya harus bersinar memancar sebagai "siraajan muniiraa", mencahayai siang & malam, memandu diri & orang di sekitarnya. Motif khasnya adalah lurik, garis-garis selang-seling berwarna yang menuntut untuk lurus dalam hati, lurus dalam kata, & lurus dalam tindakan.
  5. 'Imamah Jawiyah yang disebut blangkon. Pada gagrak Yogyakarta, ada mondholan di belakang. Sebab pemakainya harus menjadi "minzhalah", payung pengayom bagi masyarakat.
  6. Pada keadaan bertugas dikenakanlah samir berwarna merah & emas; dikalungkan di leher. Sebagai pengingat bahwa hidup ini kelak menuntut tanggungjawab akhirat yang bagai jerat di leher.
Inilah di antara makna taqwa dalam busana Kasultanan Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar