Kamis, 07 Mei 2015

Indonesia Terancam Krisis Energi

JAKARTA – Kesenjangan antara permintaan energi dan pasokan produksi minyak dalam negeri terus melebar. Kalau tidak ada solusi konkret, lambat laun krisis energi bakal terjadi di Indonesia. Kondisi itu diprediksi mulai terasa pada 2019, saat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak secara besar-besaran.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil, Selasa (5/5) menyatakan, permintaan energi setiap tahun terus meningkat tajam. Kalau pada 2010 masih 3,3 juta barel setara minyak per hari (BOEPD), pada 2025 jumlahnya mencapai 7,7 juta BOEPD. ”Kalau tidak berbuat apa-apa, Indonesia jadi net importer,” ujar Dipnala.
Tahun 2019 menjadi awal mimpi buruk itu karena kebutuhan energi diprediksi mencapai 6,19 juta BOEPD. Jika kondisi industri migas saat ini dipertahankan, pasokan energi hanya mencapai 6,04 juta BOEPD. Kesenjangan tersebut makin lebar pada 2025 yang diyakini mencapai 2,5 juta BOEPD. ”Kalau tidak ditemukan cadangan baru, 11–12 tahun lagi Indonesia akan kehabisan oil and gas,” terangnya. Indonesia, sebut Dipnala, sulit untuk menyeimbangkan rasio ideal yang ideal. Maksudnya, 100 persen produksi keluar dan 100 persen cadangan baru masuk.

Nah, kalau produksi pada 2025 hanya 47 persen, hal tersebut berarti telah menggerogoti cadangan. Itu menjadi penyebab utama habisnya cadangan migas di Indonesia. Kesulitan dalam mengejar terjadi karena eksplorasi sampai produksi membutuhkan waktu relatif lama.
Kondisi tersebut diperburuk dengan pengurusan izin yang bisa memakan waktu sampai sepuluh tahun. Artinya, saat lokasi baru sudah siap digarap, saat itu pula Indonesia sudah menjadi net importer. IPA akan mencari solusi dengan menggelar konvensi dan ekshibisi ke-39 pada 20–22 Mei di Jakarta Convention Center (JCC).
Presiden IPA Craig Stewart menambahkan, pentingnya sektor energi membuat pencarian solusi harus dilakukan secara bersama-sama. Kalau Indonesia sampai defisit energi, tentu saja akan timbul banyak kerugian. ”Subsidi membengkak, penerimaan negara berkurang, dan krisis ekonomi bisa timbul,” urainya.
Beberapa tantangan yang harus dihadapi untuk menciptakan iklim migas Indonesia cukup banyak. Di antaranya segera mencari solusi untuk kerumitan birokrasi dan ketidakpastian hukum. Sulitnya akses pemanfaatan lahan juga harus segera diatasi. Termasuk kurangnya insentif untuk proyek-proyek masif yang berbiaya tinggi.
”Itu bisa mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam kegiatan eksplorasi. Supaya ada peningkatan, perlu dilakukan berbagai penyederhanaan,” tuturnya.
Soal rencana penyederhanaan birokrasi, Yanto Sianipar selaku chairman IPA Convention and Exhibition (Convex) Ke-39 berharap bisa segera terealisasi. Meski sampai saat ini belum terdapat langkah nyata untuk menyederhanakan proses melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dia sudah melihat adanya keinginan serius dari pemerintah. (dim/c9/agm)
Sumber: Jawa Pos

0 komentar:

Posting Komentar